19 Maret 2018

Menjelang Pilkada, Awas Rasuah !!


gambar dari google credit


Tanggal 27 Juni mendatang Kabupaten Sumedang akan melaksanakan pemilukada untuk memilih Bupati dan Wakilnya. Ada 5 paslon yang akan bertanding. Sebagaimana yang kita tahu, Sumedang masih tercatat sebagai kabupaten yang memiliki peringkat buruk terkait penyelenggaraan pemerintah dari seluruh kabupaten di Jawa Barat. Karena itu semua paslon menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi kota kecil ini. Namun apakah janji-janji tersebut bisa terealisasi atau tidak, kita tak tahu pasti.

Semua paslon sudah mulai bergerilya untuk mencari dukungan dari masyarakat. Seperti yang dilakukan salah satu paslon yang saya temui hari jumat lalu. Di tengah perjalanan menuju Madrasah, kami (saya dan dzikro) berpapasan dengan iring-iringan salah satu paslon yang sedang pawai. Salah satu mobil pick up yang ikut pawai, membawa sound sistem dan memutar lagu dangdut dengan sangat keras. Saya kira ada badut yang lagi ngamen.

Ketika berpapasan dengan kami, mobil paling depan berhenti dan menyodorkan satu bungkus chiki dan kalender. Adik dzikro girang banget dapet satu bungkus ciki. Umminya yang ngebatin. Rasuah bukan ya ini?

Dalam pesta demokrasi sudah menjadi hal lumrah bagi para paslon untuk melakukan segala hal demi menggalang dukungan masyarakat. Entah itu berupa janji-janji, barang, atau pun uang (money politic). Beratus ratus juta bahkan sampai hitungan milyar mereka keluarkan demi memenangkan pemilihan.

Kebanyakan masyarakat terperangkap dalam euforia ini. Mereka senang menerima apa pun pemberian dari para paslon tanpa berpikir apakah ini termasuk rasuah atau tidak. Terima saja pemberiannya, perkara milih siapa mah itu urusan nanti. Begitu prinsip masyarakat.

Namun jika kita mau mengkaji hukum dari pemberian ini, maka kita akan dapati bahwa pemberian ini termasuk rasuah atau suap.

Yang dimaksud risywah (suap/sogok) adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil. (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819).
Al-Fayyumi rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan. (Lihat Al-Misbah Al-Munir I/228).
Sedangkan Ibnu Al-Atsir rahimahullah mengatakan bahwa risywah (suap/sogok) ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya). (Lihat An-Nihayah Fi Gharibil Hadits II/546).


Pada intinya, Rasuah adalah memberikan sesuatu dengan ada maksud tertentu. Hukumnya, jelas haram, seperti firman Allah
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (188)
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).

Sebagai muslim harusnya kita mencari tahu dulu apa hukum dari perbuatan yang kita lakukan. Jangan karena sudah menjadi kebiasan umum, maka kita ikut-ikutan melakukannya. Jika memang hukumnya haram, maka kita wajib meninggalkannya. Meskipun para paslon berdalih bahwa yang diberikannya bukan suap tapi bantuan, lebih baik kita meninggalkannya. Akan berbahaya nantinya, jika ada harta haram yang masuk ke dalam tubuh kita. Toh, kalau misalkan dia tidak ikut pemilukada, apa dia akan tetap menyumbang? Atau masihkan dia bagi-bagi sembako kalau nggak ikut nyalon?

Praktik money politic atau pun kampanye dengan suap terselubung, rasanya tidak bisa dihilangkan dari sistem demokrasi yang justru meniscayakan hal tersebut. Atuh, kalau nggak begitu mah, nggak akan ada yang milih. Masyarakat pun kebanyakan tak peduli dengan kualitas para paslon.

Jika sudah begini, akan sulit mencari kepala daerah yang amanah. Karena mereka memandang jabatan bukan amanah yang akan mereka pertanggungjawabkan tapi alat untuk memperkaya diri. Buktinya, awal tahun 2018, banyak kepala daerah yang tertangkap KPK karena tersangkut kasus korupsi. Motifnya hampir sama. Mengembalikan modal mereka selama kampanye atau mencari dana untuk kampanye di pemilihan berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming