2 Mei 2014

A Place to Remember : Rumah Mungil


Selama hampir 22 tahun di dunia, sedikit sekali tempat-tempat yang sudah saya kunjungi. Bukannya saya tak suka traveling, tapi ada hal lain yang membuat saya tak bisa menjelajah sesuka hati kecuali kalau  diwajibkan pihak sekolah semacam studytour atau darmawisata. Tempat-tempat indah yang sudah saya kunjungi masih bisa dihitung dengan jari. Makanya, aduuuuh. Saya bingung banget mau menceritakan tempat yang mana untuk ikutan GA ini. Otak saya berputar, lalu saya putuskan untuk menuliskan keindahan rumah mungil saya (baca : kontrakan) ketika masih di Tangerang. Kok malah kontrakan sih? Apa nggak ada tempat yang lebih indah? Bagi saya sebuah tempat itu layak untuk diingat ketika banyak memberikan pelajaran hidup dan kenangan yang tak lekang dimakan waktu. Buat apa indah, tapi hanya meninggalkan kesan selintas?

Penampakan depan rumah
Setelah menikah, saya putuskan untuk ikut suami ke Tangerang. Di sana suami bekerja di sebuah perusahaan sebagai maintenance, lalu dipindah tempatkan ke kantor pusat sebagai Staff IT setelah mengantongi ijazah S1.

Tiga kali saya pindah. Dari kontrakan yang satu, pindah lagi ke kontrakan yang lain, tentu saja dengan pertimbangan kenyamanan dan jarak tempuh ke tempat kerja suami. Kontrakan terakhir yang kami tempati beralamat di Kampung Rawa, Dusun Pondok Pucung, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Ayo siapa yang rumahnya dekat situ? Kami memilih kontrakan ini karena jaraknya yang hanya 10 menit dari stasiun kereta Sudimara. Selain itu, tempatnya tidak terlalu padat dan panas karena tepat di sebelah kiri kontrakan ada kebun bambu. Kata orang sih ngeri. Halaman di depan rumah juga cukup luas untuk bermain anak-anak. Tidak seperti di daerah lain yang hanya berupa gang sempit.

Kontrakan kami hanya sepetak, ditambah dapur dan kamar mandi. Kalau dilihat dari standar kelayakan sebuah hunian, memang nggak standar banget ya, rumah kami ini. Kamar tidur, ruang tamu, tempat makan, ruang keluarga, tumplek jadi satu di ruangan tersebut. Kalau pagi hari, saya sibuk mendirikan kasur bekas tidur semalam. Kalau ada tamu datang, saya harus rela nyusuin Khoiry di dapur. Selepas makan, harus terus nyapu atau ngpel minyak dan sisa makanan yang tercecer di lantai. Dan kalau saya goreng ikan, wuih, baunya mubek, muter-muter di rumah. Yah, tapi seperti kata suami, yang penting bisa dipakai berlindung dari panas matahari dan berteduh saat hujan turun. Orang lain bahkan ada yang tidak punya rumah sama sekali dan harus tinggal di kolong jembatan.

Di samping kasur : Khoiry anteng main sama teman-temannya

Selama tinggal di rumah mungil ini, banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil di samping kemudahan-kemudahan yang saya dapati karena tinggal di sana. Karena rumah kami hanya sepetak, jadi bersih-bersihnya juga tak terlalu menguras energi. Mau ke dapur tinggal balik kanan, mau ke kamar mandi tinggal maju beberapa langkah. Betapa Allah memudahkan hidup kita ya? :)

Dari rumah mungil ini saya belajar makna sebenarnya tentang hakikat kehidupan di dunia. Dunia ini hanya sementara kita tinggali persis seperti rumah mungil ini. Suatu saat nanti kita pasti pindah ke rumah milik kita, rumah sebenarnya. Ketika saya sudah pulang kampung dan tak lagi tinggal di sana, yang saya ingat adalah bagaimana kami mencukupkan diri dengan perabotan rumah yang seadanya. Ketika saya ingin beli ini itu, suami mengingatkan saya untuk membeli barang seperlunya. Di sini kan sempit, nanti kalau mau beli barang-barang lebih baik ketika kita sudah punya rumah sendiri. Atau ketika suatu hari saya ingin mengganti warna cat rumah, suami bilang, ini kan bukan rumah kita, mending sekarang nabung buat bisa mempercantik rumah kita sebenarnya.

Yes it is!. Mari kita analogikan dengan kehidupan kita di dunia. Terkadang kita sibuk mengerjar-ngejar dunia, seolah lupa suatu hari nanti kita akan pulang ke rumah sebenarnya (akhirat). Kita terkadang alpa untuk menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara. Sibuk mengumpulkan harta dan mempercantik kehidupan kita di dunia, padahal mati hanya berselimut kafan.

Terkadang saya rindu dengan suasana di rumah mungil sana. Rindu melihat ciptaan Allah yang luar biasa berupa manusia dengan berbagai suku dan bahasanya. Tetangga kanan saya orang betawi asli, tetangga depan orang jawa, ada juga yang dari Palembang dan suku Sunda seperti saya. Kalau boleh saya bilang, kontrakan di ibukota itu mirip Indonesia mini. Mengumpulkan orang-orang dari berbagai daerah yang mengadu nasib di Ibukota.

Finally, pasti nggak ada temans yang berharap untuk tinggal di rumah kontrakan kecil seperti saya. Setiap orang pasti menginginkan rumah yang lapang untuk tempat tinggal dan tempat berlabuh ribuan bahkan jutaan kenangan. Namun, Allah tidak mempunyai maksud lain dari terciptanya berbagai tempat (baik indah maupun buruk) kecuali agar kita bisa mencari dan memperoleh hikmah darinya.


5 komentar:

  1. Setuju mbak... Jakarta itu layaknya Indonesia mini. Dulu awal pindah dari Aceh ke Jakarta aku juga menghadapi orang-orang dengan beragam karakter dan akhirnya terbiasa setelah berinteraksi lama... sekarang setelah pisah jadi rindu dengan mereka. :D

    Analoginya juga tepat... semoga rumah kita sebenarnya nanti indah dan luas ya Mbak. Amin...

    BalasHapus
    Balasan
    1. sekarang masih diJakarta mba?

      Aamiiin.
      semoga rumah abadi kita luas dan lapang :))

      Hapus
  2. Saya mestinya punya banyak a place to remember nih mba, karena kehidupannya kemana-mana ngontrak aja bawaanya, Maasha Allah, semoga di 'kampung halaman' nanti kita dikaruniai hunian yang layak ukh. Gak papa di sini ngontrak mah, asal dikasih kunci hunian abadi ya ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihiihi iya, kontraktor banyak pengalamannya ya Mbak.
      ketemu banyak orang dengan cerita yang beda pulak

      Hapus
  3. "Terkadang kita sibuk mengerjar-ngejar dunia"... iya benar sekali mba, saya jadi merasa diingatkan nih. Seringkali kurang puas ini itu yg tidak prinsip :)

    Terima kasih sudah berpartisipasi di GA ini ya, good luck.

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan jejakmu di sini :)
Thanks for coming